Penyelesaian
Sengketa Ekonomi
Contoh kasus :
Beberapa waktu yang lalu kasus sengketa tanah menjadi kabar yang heboh bagi sebagian besar media
massa. Salah satu yang hangat dibicarakan adalah kasus sengketa tanah Meruya
antara warga dengan PT. Portanigra. Kasus ini mencuat saat warga Meruya
memprotes keputusan Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan PT. Portanigra atas
tanah seluas 44 Ha. Kepemilikan berganda atas tanah tersebut berawal dari
penyelewengan Djuhri, mandor tanah, atas kepercayaan yang diberikan Benny
melalui Toegono dalam pembebasan di Meruya Selatan pada tahun 1972. Djuhri
menjual tanah itu kembali kepada pihak lain karena tahu pembelian tanah itu
melanggar aturan.
Penyelesaian :
Kasus pertanahan itu
timbul karena adanya klaim / pengaduan / keberatan dari masyarakat
(perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu
keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh
Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta
keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang
tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat
penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta
dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi
terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat /
Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan
Nasional. Kasus pertanahan
meliputi beberapa macam antara lain :
1. mengenai
masalah status tanah,
2. masalah
kepemilikan,
3. masalah
bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.
Setelah
menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di atas, pejabat yang
berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian dan pengumpulan
data terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat
disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut
atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan
Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka Badan
Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten / Kota setempat letak tanah yang disengketakan. Bilamana
kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian
kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur,
kewenangan dan penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau
badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat
perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor
Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya memang
harus distatus quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa.
Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional
tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri
No 16 tahun 1984. Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun 1984, maka diminta
perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan status quo atau
pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB) dari
Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar